English Indonesian

Mengapa Hubungan Emosional antara Guru dan Siswa Sangat Penting dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan modern, istilah seperti kurikulum, asesmen, dan teknologi sering kali menjadi fokus utama. Namun, satu hal yang sering terlupakan tetapi sangat fundamental dalam proses belajar adalah perasaan “terlihat” dan dihargai oleh orang dewasa di lingkungan sekolah, terutama oleh guru. Seperti yang dikatakan oleh mendiang Rita Pierson, seorang guru dan pembicara inspiratif:

“Setiap anak pantas memiliki seorang juara—orang dewasa yang tidak akan menyerah pada mereka, yang memahami kekuatan koneksi, dan yang bersikeras agar mereka menjadi yang terbaik dari yang mereka bisa.”

Sebuah survei nasional yang dilakukan oleh Gallup dan Walton Family Foundation (2024) menemukan bahwa mayoritas siswa sekolah menengah dari Generasi Z merasa bahwa mereka memiliki setidaknya satu guru yang menjadi pendukung utama mereka di sekolah. Temuan ini menunjukkan bahwa hubungan emosional antara guru dan siswa bukan sekadar pelengkap dalam pendidikan, melainkan elemen yang sangat penting dan strategis.

Menurut Laura Weaver dan Mark Wilding, penulis The Five Dimensions of Engaged Teaching, siswa yang merasa aman, dihargai, dan didukung akan lebih terbuka untuk mengekspresikan diri mereka serta belajar secara efektif.

Ketika siswa merasa bahwa mereka dikenal dan diterima, mereka akan lebih termotivasi untuk belajar, berani mengambil risiko akademik dan sosial, serta mampu mengembangkan empati dan kontribusi positif di kelas dan masyarakat.

Sebaliknya, siswa yang tidak memiliki koneksi emosional di sekolah cenderung menghadapi risiko lebih tinggi dalam masalah perilaku, memiliki resiko putus sekolah lebih awal dan memiliki kesehatan mental yang buruk.

Data dari National Dropout Prevention Center menunjukkan bahwa hubungan yang kuat dengan guru adalah salah satu faktor perlindungan utama terhadap kecenderungan siswa untuk putus sekolah.

Di Cold Springs Middle School, para guru tidak hanya menilai siswa dari segi akademik, tetapi juga secara aktif berusaha memahami status hubungan pribadi siswa di sekolah. Mereka menggunakan sistem “check mark” pada daftar siswa untuk menandai apakah mereka mengenal siswa tersebut hanya dari nama dan wajah (“Name/Face”), status akademik siswa dan apakah ada koneksi personal yang telah dibentuk (“Something Personal”).

Proses ini menjadi refleksi penting bagi guru: Apakah kita benar-benar mengenal murid-murid kita? Seorang guru kelas 7, Chris Ewald, mengakui bahwa dia mungkin mengenali wajah dan nama siswa, namun tidak mengetahui apa-apa tentang kondisi pribadi atau akademik mereka. Inilah mengapa membangun hubungan personal menjadi sangat penting.

Untuk menciptakan lingkungan sekolah yang sehat dan suportif, sekolah bisa mengambil berbagai langkah untuk memastikan setiap siswa memiliki akses pada orang dewasa yang peduli:

  1. Program homeroom dan advisori.
    Memberikan ruang kecil dan terfokus di mana siswa berinteraksi rutin dengan guru pembimbing.
  2. Kelompok makan siang (lunch groups).
    Aktivitas informal ini dapat menjadi ruang aman untuk membangun koneksi sosial dan emosional.
  3. Ekstrakurikuler yang bermakna.
    Seperti tim olahraga atau proyek komunitas, yang memperkuat identitas diri dan kerja sama.
  4. Klub-klub setelah sekolah.
    Memberikan wadah ekspresi dan komunitas bagi siswa dengan minat beragam.

Upaya-upaya ini akan membantu memastikan bahwa tidak ada siswa yang merasa sendirian, tidak terlihat, atau diabaikan di lingkungan sekolah.

 

Linda Darling-Hammond, mantan kepala eksekutif dari Learning Policy Institute, menyatakan bahwa emosi dan pembelajaran sangat terhubung. Ketika siswa merasa dikenal dan dihargai oleh seseorang di sekolah, mereka lebih mungkin untuk dapat memiliki pandangan positif terhadap pendidikan, merasa aman untuk bertanya, berpendapat, dan belajar dari kesalahan hingga akhirnya dapat menunjukkan performa akademik yang lebih baik.

Hubungan emosional yang positif juga membuka “kesempatan untuk belajar lebih luas”. Tidak hanya dari segi akademik, tetapi juga dalam membangun keterampilan sosial dan emosional, seperti empati, kerja sama, dan resiliensi.

 

Di tengah krisis kesehatan mental remaja global, data dari CDC AS pada tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 40% remaja mengalami perasaan putus asa dan sedih dalam dua tahun terakhir. Di Indonesia, survei UNICEF tahun 2022 menemukan bahwa satu dari tiga anak merasa tidak memiliki siapa pun untuk berbagi ketika sedang mengalami stres.

Dalam konteks ini, guru yang hadir secara emosional bisa menjadi “penyelamat diam-diam” bagi siswa. Tidak perlu melakukan hal besar, kadang cukup dengan mengenali nama mereka, menyapa dengan tulus, atau bertanya bagaimana kabarnya hari itu.

 

Dalam usaha kita menciptakan pendidikan berkualitas tinggi, kita tidak boleh melupakan dasar paling manusiawi dari pembelajaran: hubungan. Koneksi personal antara guru dan siswa bukan sekadar pelengkap dari kurikulum, melainkan jembatan utama menuju pembelajaran yang bermakna, inklusif, dan tahan lama.

Ketika siswa merasa terlihat, dikenal, dan dihargai, mereka tidak hanya akan belajar lebih baik, namun mereka akan tumbuh menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri. Dan bukankah itu tujuan utama pendidikan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *