Dalam dunia pendidikan, kita sering mendengar bahwa setiap siswa memiliki gaya belajar yang unik — visual, auditori, atau kinestetik. Gagasan ini telah berakar kuat dalam praktik mengajar dan bahkan diyakini sebagai cara terbaik untuk memaksimalkan potensi siswa. Namun, semakin banyak penelitian yang menunjukkan bahwa keyakinan terhadap “gaya belajar” tidak hanya tidak berdasar secara ilmiah, tetapi juga dapat membatasi potensi siswa dan memperkuat stereotip yang merugikan.
Teori gaya belajar pertama kali populer pada era 1970-an, seiring dengan meningkatnya minat terhadap personalisasi dalam pendidikan. Banyak pendidik dan orang tua percaya bahwa siswa akan belajar lebih baik jika materi disesuaikan dengan gaya belajar mereka: gambar untuk pembelajar visual, suara untuk pembelajar auditori, dan gerakan untuk pembelajar kinestetik.
Model ini tampak logis dan intuitif. Siapa yang tidak ingin memahami cara belajar terbaik bagi setiap anak? Namun, logika ini tidak sejalan dengan temuan ilmiah. Studi demi studi telah gagal menemukan bukti kuat bahwa mengajar sesuai dengan gaya belajar individu menghasilkan hasil belajar yang lebih baik. Dalam sebuah kajian sistematis oleh Pashler dkk. (2008), para peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada bukti kuat yang mendukung teori ini, meskipun konsep tersebut sangat populer.
Meskipun tidak berdasar secara ilmiah, pelabelan gaya belajar sering dilakukan di sekolah dan program pendidikan guru. Dalam praktiknya, pelabelan ini tidak netral. Ketika seorang anak diberi label “pembelajar visual”, mereka cenderung lebih diharapkan berhasil di bidang seperti membaca atau seni. Sebaliknya, anak yang dianggap “pembelajar kinestetik” mungkin diidentifikasi sebagai lebih cocok untuk aktivitas fisik atau pekerjaan manual, bukan bidang akademik.
Sebuah studi tahun 2023 menunjukkan bahwa guru memiliki kecenderungan untuk mengasosiasikan “pembelajar visual” dengan kecerdasan di mata pelajaran seperti matematika dan bahasa. Sementara itu, “pembelajar kinestetik” dianggap kurang cocok di bidang akademik, dan lebih cocok dalam pelajaran olahraga atau seni gerak. Akibatnya, ekspektasi terhadap siswa dibentuk oleh label gaya belajar tersebut — bukan oleh potensi aktual siswa.
Keyakinan terhadap gaya belajar dapat memberikan dampak jangka panjang yang signifikan terhadap perkembangan siswa. Siswa yang telah diberi label tertentu bisa jadi menolak mencoba cara belajar lain karena merasa itu “bukan gaya mereka.” Hal ini membatasi pengalaman mereka dan mengurangi fleksibilitas dalam strategi belajar.
Lebih jauh, pelabelan ini dapat menghalangi siswa untuk menjelajahi minat di bidang tertentu. Seorang siswa yang merasa dirinya bukan “pembelajar verbal” mungkin menghindari menulis atau membaca secara mendalam. Lama kelamaan, mereka mengembangkan ketakutan atau keengganan terhadap bidang tersebut, padahal bisa saja mereka sebenarnya mampu jika diberi kesempatan dan strategi belajar yang tepat.
Yang lebih mengkhawatirkan, kepercayaan terhadap gaya belajar ini sudah mulai ditanamkan sejak usia dini. Penelitian menemukan bahwa anak-anak SD sudah bisa mengidentifikasi diri mereka dengan gaya belajar tertentu, sering kali berdasarkan saran dari guru atau pengaruh lingkungan. Mereka mulai percaya bahwa mereka hanya bisa belajar dengan cara tertentu — suatu kepercayaan yang membatasi dan sulit diubah.
Pada akhirnya, gaya belajar lebih merupakan persepsi daripada fakta. Ketika siswa percaya bahwa mereka tidak bisa belajar dengan cara tertentu, persepsi itu menjadi kenyataan yang membatasi. Ini adalah contoh klasik dari efek “ramalan yang terpenuhi sendiri” (self-fulfilling prophecy).

Alih-alih memfokuskan diri pada “gaya belajar” yang kaku, para ahli merekomendasikan pendekatan pengajaran yang bersifat multisensori dan variatif. Artinya, siswa diajak untuk belajar dengan berbagai cara — membaca, mendengar, menulis, berbicara, menggambar, bergerak, dan bekerja dalam kelompok — tanpa membatasi diri pada satu metode saja.
Pendekatan ini tidak hanya membantu siswa mengembangkan fleksibilitas kognitif, tetapi juga meningkatkan retensi dan pemahaman. Misalnya, dalam pembelajaran bahasa, siswa yang mendengarkan kata, melihat gambar, menuliskannya, dan menggunakannya dalam kalimat akan lebih mungkin mengingat dan memahami kata tersebut dalam konteks yang lebih luas.
Dalam dunia pendidikan modern, penting untuk memindahkan fokus dari “gaya belajar” menuju pengembangan strategi belajar yang efektif. Strategi seperti elaborasi, pemrosesan mendalam, self-testing, spaced repetition, dan penggunaan alat bantu visual seperti peta konsep terbukti lebih efektif secara konsisten dibanding pengajaran berdasarkan gaya belajar.
Salah satu contohnya adalah strategi retrieval practice, yakni mengingat kembali informasi tanpa melihat catatan. Ini terbukti jauh lebih kuat untuk membangun memori jangka panjang dibandingkan sekadar mengulang membaca. Begitu pula dengan strategi metakognitif, di mana siswa diajarkan untuk menyadari bagaimana mereka belajar, apa yang sudah mereka kuasai, dan bagian mana yang perlu diulang.
Pergeseran paradigma ini memerlukan kerja sama dari berbagai pihak — guru, orang tua, pembuat kebijakan, hingga penyedia pelatihan guru. Guru perlu dilatih untuk memahami bahwa belajar itu kompleks dan tidak dapat disederhanakan menjadi tiga kategori gaya. Mereka juga perlu dibekali dengan strategi pengajaran berbasis bukti ilmiah.
Orang tua pun perlu memahami bahwa anak mereka bisa belajar dengan banyak cara, bahkan jika mereka tampak lebih nyaman dengan satu pendekatan tertentu. Mendorong eksplorasi, memberi tantangan, dan menghindari pelabelan adalah langkah penting dalam membangun ketangguhan belajar pada anak.
Keyakinan terhadap gaya belajar mungkin tampak tidak berbahaya pada awalnya, tetapi penelitian menunjukkan bahwa ia dapat memiliki dampak yang mendalam terhadap bagaimana siswa diperlakukan dan bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri. Mengabaikan mitos ini bukan berarti kita mengabaikan individualitas siswa, tetapi justru membuka peluang agar setiap siswa memiliki akses terhadap beragam pendekatan belajar yang bisa memperkuat pemahaman mereka.
Pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang adaptif — bukan terhadap “gaya belajar”, melainkan terhadap kebutuhan, konteks, dan potensi siswa secara menyeluruh. Dengan memahami bahwa belajar adalah proses dinamis dan kompleks, kita dapat membantu generasi masa depan untuk tumbuh tanpa batasan yang tidak perlu.
Leave a Reply